Senin, Januari 04, 2010

“CERITA PULAU”



- Ketika semua menjadi dilema -
Oleh: wardianto muhammad
Naskah teater adaptasi film “Perempuan Punya Cerita” written by Vivian Idris


Tokoh :
1. B. Bidan (Sumantri)
2. Suami bu bidan dengan nama Rochim
3. Wulan (Cewek remaja yang mengalami manis depresif)
4. Mak tua
5. Pemuda I
6. Pemuda II
7. Bapak pemuda I
8. Pak Kades
9. Sari (hanya dalam bentuk bayangan)


Nyanyian jiwa
Oleh: Iwan Fals

Mata hati bagai pisau merobek sanksi
F C G Am
Hari ini ku telan semua,., masa lalu

Reff :
F Em
Biru, biru, biru, biruku
F G
Hitam, hitam, hitam, hitamku
F
Aku sering ditikam cinta pernah dilemparkan badai
Am G
Tapi aku tetap berdiri ohhh,.,.,

Interlude : Am

Am
* Nyanyian jiwa haruslah dijaga
Am
Matahati haruslah diasah
Am
Nyanyian jiwa haruslah dijaga
Am
Matahati haruslah diasah

Am
Menjeritalah.,.,.,
Em
Menjeritlah selagi bisa,.,.,
F
Menangislah,.,.,.,.
C G Am
Jika itu dianggap,.,. penyelesaian,.,.,


Adegan I
Setting : Ruang tamu rumah Bu Bidan


Ruang tamu yang berisi satu kursi pendek dan satu lagi kursi panjang disertai satu meja yang diatasnya terdapat tas kulit wanita yang ditaruh begitu saja mengawali cerita ini. Sementara itu musik suasana (Lagu nyanyian jiwa karya Iwan Fals / atau lagu-lagu gubahan sendiri) turut serta mengiringi awal jalannya cerita ini.

Bu bidan marah campur bingung keluar dari kamar diikuti dengan suaminya yang membawa kardus-kardus yang siap diisi dengan pakain.

Suami : Kamu itu gimana sih ma? Mama itu memang sudah seharusnya memikirkan nasib mama sendiri. Buat apa sih mama masih memikirkan nasib anak itu...

Bidan : Wulan itu tidak gila mas.. dia itu istimewa, Mak tua sudah gak akan mampu untuk mengurusnya sendiri.

Suami : Iya, tapi mama kan juga harus memikirkan nasib mama sendiri. Ingatlah ma, kanker payudara mama itu menurut hasil lab sudah stadium 3, sudah seharusnya dioperasi. Kalo tidak segera dioperasi, akibatnya nanti malah bertambah parah.

Bidan : Hanya terdiam saja... #$^%%*

Suami : Kemarin pak haji sudah sepakat mau membeli rumah kita, 60%-nya sudah dibayar sama pak haji, tinggal yang 40% akan dibayar 3 minggu lagi. Nah, sisa dari hasil penjualan rumah ini kan bisa kita sisihkan untuk biaya hidup dan pengobatan Wulan nantinya ma...

Bidan : tapi mas....

Suami : bulan depan kita harus sudah pindah ke Jakarta untuk mengurus pengobatanmu.

Suami : Memang, orang-orang di pulau ini sangat membutuhkan orang seperti mama. mereka sudah sangat dekat dengan kamu ma, terutama ibu-ibunya. Tapi kan tugas itu nanti bisa digantikan Sari, asisten mama selama ini..., biarlah alat-alat mama nanti kita berikan padanya biar dia bisa langsung menggantikan posisi mama sebagai bidan di pulau ini.

Bidan : ..... $@^&^

Suami : Lagian ma [dengan suara melemah], kasus aborsi mama di kepolisian juga belum tuntas. Mereka masih menganggap aborsi yang dilakukan mama tiga bulan yang lalu itu sebagai tindakan malpraktik. Jadi ya, nggak usah nyari masalah lagi lah....

Bidan : [dengan nada tinggi dan sangat marah] Saya ini bidan mas, saya tau apa yang saya lakukan. Kalau saja aborsi itu tidak saya lakukan, nyawa ibu itu akan jadi jaminannya.

Suami : Iya ma.. aku faham, tetapi apakah mereka mau menerima alasan mama ini? Alasan mereka tetap, aborsi itu sakit. Disana-sini orang-orang masih menganggap bahwa tindakan meng-aborsi mama dulu itu sebuah kasus, bahkan sampai polisi pun menganggap seperti itu.

Bidan : huh.... (ia jengkel dan masuk ke dalam diikuti oleh suaminya).

Suami : ma.... (sambil mengejar bu bidan).





Adegan II
Setting : Depan rumah Mak tua


Sorot lampu secara perlahan menerangi Mak tua yang sedang duduk santai dan selalu diam di atas kursi goyang di depan rumahnya.

Tiba-tiba dari samping panggung terlempar sebuah batu pipih untuk bermain lompat kotak (Jawa: engklek). Muncullah seorang cewek yang mengalami gangguan mental sambil melompat-lompat, dialah Wulan.

Wulan : Hup, hup, hup, HYA...... hwahahaha (dia terus bermain sendiri)

Pada akhirnya dia bernyanyi sambil menunjuk bergantian (diawali dari menunjuk Mak tua) antara dia dan Mak tua yang diam saja sampai lagunya selesai.

Wulan : “Bang-bang tut jendelo lawang, sopo ambu entut ditembak rojo tuo, tuo-tuo kaji rambute kari siji, mbukak lemari isine roti, roti-roti gembos silite mbeledos” hwahahahaha... (dia tertawa karena lagunya berakhir pada Mak tua).

Wulan : nenek kentut.... nenek kentut.... nenek kentut....

Dia terus ngomong dan bermain sendiri....

Wulan : hemm... mama sekarang lagi sibuk, papa juga lagi sibuk. Jadi saya harus bermain sendiri.... hwahaha. (tiba-tiba ia merubah karakternya menirukan ayahnya) Dasar wanita jalang! Sudah susah-susah aku bekerja siang malam sebagai suami, malah selingkuh dengan anak sekolahan. Emang jaman udah kebalik semua, tante-tante doyan brondong!! [ia diam sejenak dan akhirnya berangsur-angsur tertawa lagi...] hwahahahaha.............

Kemudian Wulan bermain cermin pemberian ibunya dan memainkan cahaya yang dipantulkannya. Sampai akhirnya dia merasa bahwa dia saat ini sendirian, sedih, semakin sedih, dan sampai akhirnya menangis.

Tak lama kemudian lewatlah bu bidan yang akan berangkat ke tempat dinasnya. Ia sangat terperangah melihat Wulan yang menangis sendirian.

Bidan : eh.. Wulan kenapa menangis? Kan ada ibu disini... emangnya ada apa sih sayang? Sini ibu bantuin masuk ke rumah.

Saat itu pula muncullah 2 pemuda yang takjub melihat kecantikan Wulan dan mereka berniat ingin menggodanya.

Pemuda I : Cewek...

Pemuda II : Cewek...

Bu bidan menjawab mereka sambil tetap memberikan senyum ramahnya,

Bidan : eh... ini anak punya nama, dan namanya bukan cewek. Mak tua, tolong jagain si Wulan ya Mak?

Mak tua : iya bu...

Bidan : ibu berangkat dulu ya Wulan? Kalo ada apa-apa hubungi ibu saja.. (sambil berlalu meninggalkan mereka semua)

Wulan : eeeehheehhee.... (Wulan merengek tak mau bu bidan pergi)

Sementara itu, kedua pemuda berniat merencanakan pemerkosaan terhadap Wulan.

Pemuda II : kita tunggu aja si Wulan pulang nanti malam. Biasanya, anak ini mesti pulang jam enam sore.

Pemuda I : emangnya lu dah pernah gituan? Apa gak susah? Ini kan cewek gila bro.

Pemuda II : alah... awalnya emang peret, tapi lama-lama juga becek juga.

Kedua pemuda : hwahahahaha... (sambil berlalu meninggalkan Mak tua dan Wulan)

Bersamaan itu pula lampu meredup dan mati.




Adegan III
Setting : Depan rumah Mak tua

Suasana malam diperkuat dengan adanya suara-suara hewan malam, jangkrik dan sejenisnya.

Sepi, senyap. Di panggung hanya ada Wulan yang bermain sendiri dengan cermin kesayangannya. [awalnya lampu stage kuning hanya tertuju pada Wulan]. Sementara itu dari balik siluet yang berada di sebelah kanan stage, secara tidak tampak pemuda I memancing Wulan dengan cahaya kuat yang dipantulkan di tanah [lampu backlight di balik siluet masih mati], akhirnya perhatian Wulan teralihkan kepada bayangan cahaya kuat di tanah tersebut yang berjalan mengarah ke dalam siluet. Sedikit demi sedikit Wulan mengikuti cahaya itu [seiring dengan moving Wulan, lampu stage berubah menjadi biru] sampai akhirnya....

Wulan : Hemmm... hem... (Wulan terus meronta-ronta ingin lepas dari dekapan dan sumpalan tangan pemuda II yang kemudian membawanya masuk ke dalam siluet) [lampu backlight merah dibalik siluet untuk membentuk bayangan yang eksotis siap menyala ketika Wulan sudah dimasukkan ke dalam siluet, juga sebuah box kokoh setinggi pinggul orang dewasa yang dapat diduduki terdapat di balik siluet.]

Pemuda I : Ayo naikkan dia ke atas! Sepet, aku aja yang duluan! Pegangin yang kuat jangan sampai dia teriak terlalu keras.

Pemuda II : Jangan dihabiskan semua bro.. sisahin buatku!

Pemuda I : Alah, tenang ja. Ini kan cewek gila, biar dah lemes juga kagak bakal berontak...

Wulan : hhemmm... hmmmm.... (suara teriakan Wulan yang masih disumpal)

Sementara pemuda II memegangi Wulan yang terus berontak, pemuda I berusaha melucuti pakaian Wulan dan memulai pemerkosaannya dengan gerakan sebinal mungkin yang penuh dengan paksaan dibalik siluet, kadang-kadang suara Wulan juga agak berubah seperti orang yang mendesah. Setelah beberapa saat kondisi Wulan sudah tak berdaya, pemuda I selesai dan saatnya giliran pemuda II untuk memperkosa Wulan.

Pemuda I : Hwahaha... semakin Wulan menjerit, birahiku semakin memuncak bro. hwahahaha

Pemuda II : Apa gue bilang, paling juga awalnya aja yang peret. Lama-lama kan becek juga. Hwahaha...

Setelah keduanya puas, mereka tertawa lepas dan meninggalkan Wulan yang masih tergeletak di balik siluet... [keadaan sepi beberapa saat tanpa ada gerakan sedikitpun diiringi dengan lagu dan alunan musik sendu mengiringi fade out lampu secara perlahan].

Wulan keluar dan berteriak, menangis sejadi-jadinya, dalam keadaannya yang masih lemas sampai ia tidak kuat mengatur keseimbangan tubuhnya dan roboh. Ia terus menangis histeris. Hingga bu bidan berlari, langsung mendekap Wulan dan menangis sejadi-jadinya bersama dengan Wulan. [alunan musik sendu kembali mengiringi mereka]

Bidan : Wulan......... kenapa... kenapa....

Mak tua yang tidak tahu apa-apa datang dari sudut panggung secara perlahan, belum sampai ia menghampiri bu bidan dan Wulan lampu sudah fade out.




Adegan IV
Setting : Rumah Mak tua

Hari-hari bu bidan semakin berat, selain harus memikirkan kanker payudara yang bersarang dalam dirinya, ia juga harus memperhatikan keadaan Wulan. Wulan yang periang sekarang hanya diam, tak keluar sepatah katapun dari mulut mungilnya.

Dipanggung ada Mak tua yang sedang duduk diam di kursi, dan Wulan yang duduk diam di bawah dengan pandangan matanya yang kosong. Kenangan traumatisnya semasa kecil bertambah parah dengan terjadinya kejadian dua minggu yang lalu. Bu bidan datang bermaksud menanyakan keadaan Wulan kepada Mak tua.

Bidan : Mak, bagaimana haid Wulan pada minggu ini?

Mak tua : Belum bu...

Mendengar jawaban tersebut, bu bidan langsung membawa Wulan masuk ke kamar untuk diperiksa. Setelah beberapa saat kemudian, bu bidan keluar dari kamar dengan perasaannya yang tidak percaya dan bingung bagaimana harus mengatakannya kepada Mak tua.

Bidan : Mak tua... [bu bidan diam sejenak, wajahnya tertunduk di depan mak tua], Wulan hamil mak....

Mak tua : tolong dia bu... tolong dia....

Pikiran Bu bidan berkecamuk, apa yang harus dia lakukan? Kepalanya tertunduk sesaat, seakan-akan tak kuat menahan beban berat di kepalanya. Sedangkan Mak tua, ia juga tidak dapat berbuat banyak. Ia hanya menggantungkan permasalahan ini kepada bu bidan. Bahkan sampai lampu panggung-pun tidak kuat menahan bebannya, akhirnya fade out.

***


Adegan V
Setting : Rumah Bu Bidan

Ruangan kembali di set seperti awal pementasan. Bedanya, di ruang persalinan terdapat tempat tidur dan seorang asisten bu bidan yang berdiri di balik siluet di samping kiri panggung. Sementara lampu merah menyinari mereka dari balik siluet.

Bu bidan tergesa-gesa membawa Wulan ke rumahnya bersama Mak tua. Sesampainya disana, bu bidan langsung membawa Wulan masuk ke kamar prakteknya, ruang persalinan. Sementara Mak tua menunggu mereka di ruang tamu.

Diantara kebingungan Bu Bidan, akhirnya ia memutuskan untuk mengaborsi janin yang dikandung Wulan. Dengan sedikit suntikan obat penenang, secara perlahan proses aborsi janin Wulan dilakukan, dibantu oleh Sari, asisten yang selama ini membantu Bu Bidan dalam menjalankan tugasnya, aborsi itu dilakukan.

Bu bidan keluar dari ruang bersalin setelah tugasnya selesai. Biarpun bercampur rasa lelah yang ditunjukkan dengan bercucurnya bintik-bintik keringat di wajah bu bidan, paling tidak hal itu dapat mengurangi kebingungan yang selama ini dialami oleh bu bidan dalam merawat dan menjaga Wulan. Akhirnya ia duduk bersandar di kursi dekat dengan Mak tua yang dari tadi menunggu hasilnya untuk melepas rasa lelahnya.

Tapi, alangkah cepat waktu berputar. Baru sepersekian detik bu bidan menyandarkan kepalanya di kursi. Keributan di luar rumahnya sontak mengagetkan bu bidan.

[suara dari luar panggung]

Pak kades: sudahlah pak... jangan terlalu diambil hati. Kejadian ini hanyalah sebuah kecelakaan kecil, jangan dibesar-besarkan. Wulan itu gak waras...

Suami : masalah seperti ini Bapak anggap enteng? ggrrhh... ggrrhhh... (gemuruh nafas pak Rochim yang masih ingin melampiaskan kekesalannya kepada pemuda I yang telah memperkosa Wulan). Orang kecil, kalau salah sangat cepat masuk penjara, tapi kalau orang berada, bertahun-tahunpun masih bebas berkeliaran di kota-kota, bahkan malah dilepaskan. Bagaimana sih hukum di negeri ini? Ggggrrrhhh... ggrhhhrrr.... Wulan itu memang berbeda dengan yang lain, tapi ia tidak gila, ia itu istimewa.

Pak kades: kenapa sih pak? Lagian mereka juga sudah mau minta maaf kepada Mak tua dan Wulan.

[sambil masuk ke panggung]

Pak kades: sudahlah pak kita ambil jalan damai saja.

Suami : ggrrgghhgrr.... sampai selamanya, uang tidak akan bisa menyelesaikan masalah.

Pak kades: Kalau Bapak masih bersikeras, Bapak akan dituduh melakukan pencemaran nama baik. Lagian penduduk disini juga sudah tahu, kasus aborsi istrimu itu belum juga selesai.

Mendengar pernyataan pak kades yang menyangkut-nyangkut kasus aborsi istrinya, pak Rochim hanya bisa tertunduk lemas. Seperti kera yang sudah dipegang ekornya.

Bidan : ada apa ini? Ada apa?

Suami : (berlari menghampiri istrinya) ternyata, biadab inilah yang memperkosa Wulan.

Pak kades langsung memotong pembicaraan, seakan-akan tuduhan pak Rochim tidak ada. Ia merasa heran dengan adanya Mak tua di rumah bu bidan.

Pak kades: Lho, kenapa Mak tua ada disini? Jangan-jangan Wulan juga ada di sini. Di mana dia bu?

Bidan : tidak. Dia tidak ada di sini.

Tiba-tiba Mak tua nyelethuk.

Mak tua : Bu... bagaimana keadaan Wulan bu...

Pak kades: nah, berarti Wulan ada di sini? Bagaimana sih, tadi dibilang tidak ada. Sekarang? Wah wah wah... jangan-jangan ada aborsi lagi nih?

Pak kades: begini saja, kamu yang nyerahkan uangnya. (pak kades menunjuk pemuda I untuk menyerahkan uang damai kepada Mak tua).

Bidan : Jangan Mak, jangan diterima!! Jangan!!

Suami : sudahlah ma, biarkan Mak tua yang memilih.

Dengan tangan lemas orang tua yang sudah berumur 80an, Mak tua menerima uang damai yang diberikan oleh pemuda I. Senyum lebar menghiasi bapak pemuda I, pemuda I, dan pak kades yang memperoleh kemenangan mereka hanya dengan sebungkus uang. Hanya bagaikan membeli PSK di pinggiran jalan, mereka telah berhasil membeli sebuah kebenaran dengan kekayaan yang mereka miliki.

Sambil meninggalkan bu bidan dan yang lain, mereka tertawa seenak udelnya.

Pak kades: (dengan senyum keberengsekannya) nah, kalo seperti ini kan selesai permasalahannya? Kok nggak dulu-dulu saja seperti ini? Hwahaha..

Mak tua : (merangkul bu bidan) maafkan saya bu, maafkan....

Bu bidan hanya bisa menangis seakan-akan tidak mempercayai apa yang terjadi di depan matanya. Sesudah apa yang terjadi, berlumuran peluh membantu Mak tua menyelesaikan masalah. Akan tetapi inilah yang didapat. Ia hanya bisa berlari mengejar pak kades dkk seraya berteriak.

Bidan : Sampai selamanya uang tidak akan bisa menghapuskan kesalahan!!

Hingga dalam hitungan tiga hirup nafasnya, bu bidan pingsan dan .....


SELESAI